Doom Spending: Fenomena Belanja yang Nggak Kamu Sadari Bikin Kantong Bolong

Doom Spending: Fenomena Belanja yang Nggak Kamu Sadari Bikin Kantong Bolong

Doom spending, istilah yang sering kita dengar belakangan ini, mungkin terdengar baru, tapi fenomena ini sebenarnya sudah lama ada, lho! Konsep ini mencuat lagi sejak pandemi melanda dan orang-orang mulai melakukan pembelian yang bisa dibilang panik. Nah, apa sih sebenarnya doom spending ini, kenapa generasi Z juga ikut terjebak, dan gimana dampaknya buat kondisi finansial kita? Yuk, kita bahas lebih dalam!

Apa Itu Doom Spending?

Ahli perilaku keuangan seperti Ryan Derousseau juga mencatat bahwa keinginan untuk membeli barang secara impulsif sering kali menjadi cara untuk mencari “penghiburan” jangka pendek. Hal ini melibatkan pelepasan hormon dopamin yang memberikan perasaan sementara senang atau puas, meskipun akibat jangka panjangnya bisa berujung pada masalah finansial lebih lanjut​

Doom spending adalah perilaku belanja impulsif yang terjadi saat orang merasa cemas atau stres akibat ketidakpastian di masa depan. Di masa-masa seperti krisis ekonomi, pandemi, atau ancaman besar lainnya, banyak orang yang “melarikan diri” dari kecemasan mereka dengan cara berbelanja barang-barang yang sebenarnya nggak dibutuhkan.

Kenapa Doom Spending Terjadi?

Doom Spending
Doom Spending

Biasanya, orang-orang yang terlibat dalam doom spending merasa nggak punya kendali atas situasi yang ada, jadi mereka mencoba “mengontrol” apa yang bisa mereka lakukan—dan salah satu caranya adalah dengan membeli barang. Mereka merasa bahwa belanja bisa memberikan rasa tenang atau setidaknya mengalihkan perhatian dari masalah yang lebih besar.

Generasi Z, yang notabene banyak menghabiskan waktu di media sosial, juga nggak kebal dari fenomena ini. Dengan banyaknya influencer yang mempromosikan gaya hidup konsumtif, godaan untuk ikut-ikutan belanja jadi makin besar.

Generasi Z dan Kebiasaan Doom Spending

Generasi Z tumbuh di era digital, di mana hampir semua kegiatan bisa dilakukan secara online, termasuk belanja. Dan inilah yang menyebabkan doom spending lebih mudah terjadi di kalangan mereka. Ditambah lagi, media sosial memberikan tekanan sosial yang besar buat tampil selalu keren dan up-to-date. Hal ini menciptakan kebutuhan yang nggak nyata, tapi terasa mendesak.

Pengaruh Media Sosial pada Doom Spending

Siapa yang nggak pernah lihat ads di Instagram atau TikTok tentang produk terbaru yang bikin kita mikir, “Kayaknya aku butuh deh!”? Padahal, kalau dipikir-pikir, mungkin barang itu nggak penting sama sekali. Itulah salah satu cara media sosial memperkuat budaya doom spending. Dengan berbagai promo dan kode diskon, rasanya susah banget buat nolak.

Belanja jadi semacam bentuk escape dari kecemasan atau kekhawatiran yang kita rasakan, terutama di masa pandemi atau ketidakpastian ekonomi.

Tanda-Tanda Kamu Terjebak dalam Doom Spending

Doom Spending
Doom Spending

Mungkin kamu bertanya-tanya, “Apakah aku termasuk yang terkena dampak doom spending?” Yuk, cek beberapa tanda-tandanya:

1. Belanja Bukan Karena Kebutuhan, Tapi Karena Emosi

Kalau kamu sering belanja hanya karena lagi stres atau bosen, dan bukannya karena emang butuh barang tersebut, itu bisa jadi tanda kamu lagi terjebak doom spending. Belanja emang bisa bikin hati senang sesaat, tapi sayangnya, perasaan itu nggak bakal bertahan lama.

2. Sering Terpancing Diskon atau Promo

Generasi Z dikenal sebagai generasi yang peka dengan promo. Tapi kalau kamu sering merasa “terpaksa” beli barang hanya karena diskon, tanpa memikirkan apakah barang itu beneran kamu butuhin, ini bisa jadi masalah. Diskon nggak selalu berarti hemat kalau barangnya nggak pernah dipakai.

3. Ngerasa Menyesal Setelah Belanja

Salah satu ciri khas dari doom spending adalah perasaan menyesal setelah membeli barang yang nggak dibutuhkan. Kamu mungkin sering ngerasa senang sesaat, tapi setelah itu muncul rasa bersalah karena ngerasa udah boros.

Dampak Doom Spending pada Keuangan

Doom Spending
Doom Spending

Belanja terus-menerus tanpa perhitungan jelas pasti punya dampak pada keuangan pribadi. Meskipun terlihat sepele, kebiasaan ini bisa membuat seseorang jadi punya masalah finansial yang serius di masa depan, terutama bagi generasi muda yang masih membangun kestabilan keuangan mereka.

1. Hutang yang Menumpuk

Salah satu dampak terbesar dari doom spending adalah meningkatnya hutang, terutama kalau kamu sering belanja menggunakan kartu kredit atau layanan buy now, pay later. Semakin sering kamu belanja, semakin besar juga kemungkinan kamu nggak bisa membayar tagihan tepat waktu, yang akhirnya bikin hutang menumpuk.

2. Sulit Menabung

Dengan kebiasaan belanja yang impulsif, otomatis uang yang seharusnya bisa ditabung jadi habis untuk membeli barang-barang yang sebenarnya nggak terlalu penting. Kalau terus-terusan begini, kamu bakal kesulitan buat nabung untuk kebutuhan mendesak atau masa depan.

Cara Mengatasi Doom Spending

Setelah kita bahas apa itu doom spending dan dampaknya, sekarang saatnya kita bahas cara mengatasi kebiasaan buruk ini. Nggak ada kata terlambat buat mulai mengubah kebiasaan belanja yang lebih sehat dan terkontrol.

1. Buat Anggaran Bulanan

Salah satu cara paling efektif buat mengontrol keuangan adalah dengan membuat anggaran bulanan. Tentukan berapa banyak uang yang bisa kamu alokasikan untuk kebutuhan sehari-hari, tabungan, dan hiburan. Dengan punya anggaran yang jelas, kamu bisa lebih terkontrol dan nggak gampang tergoda buat belanja impulsif.

2. Tahan Diri Selama 24 Jam

Sebelum membeli sesuatu, cobalah tunggu selama 24 jam. Beri diri kamu waktu buat berpikir, apakah kamu benar-benar butuh barang itu atau cuma ingin belanja karena terpengaruh emosi sesaat. Kalau setelah 24 jam kamu masih merasa butuh, barulah kamu bisa pertimbangkan buat beli.

3. Unfollow Akun Media Sosial yang Menggoda

Kadang, salah satu penyebab kita sering terjebak doom spending adalah karena sering terpapar oleh akun-akun yang terus mempromosikan barang baru. Coba kurangi atau unfollow akun-akun yang membuat kamu merasa terus-menerus ingin membeli sesuatu yang nggak dibutuhkan.

Tags: